Senin, 10 November 2014

PANCASILA SEBAGAI SUATU SISTEM FILSAFAT

PANCASILA SEBAGAI SUATU SISTEM FILSAFAT Oleh: Syaddan Dintara Lubis* Sudut Pandang Pancasila sebagai Sistem Filsafat Ada dua aspek yang perlu dikaji dalam Pembahasan mengenai Pancasila sebagai sistem filsafat, yaitu dapat dilakukan dengan cara deduktif dan induktif. 1. Cara deduktif yaitu dengan mencari hakikat Pancasila serta menganalisis dan menyusunnya secara sistematis menjadi keutuhan pandangan yang komprehensif. 2. Cara induktif yaitu dengan mengamati gejala-gejala sosial budaya masyarakat, merefleksikannya, dan menarik arti dan makna yang hakiki dari gejala-gejala itu. Pancasila yang terdiri atas lima sila pada hakikatnya merupakan sistem filsafat. Yang dimaksud sistem adalah suatu kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan, saling bekerjasama untuk tujuan tertentu dan secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang utuh.Sila-sila Pancasila yang merupakan sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan organis. Artinya, antara sila-sila Pancasila itu saling berkaitan, saling berhubungan bahkan saling mengkualifikasi. Pemikiran dasar yang terkandung dalam Pancasila, yaitu pemikiran tentang manusia yang berhubungan dengan Tuhan, dengan diri sendiri, dengan sesama, dengan masyarakat bangsa yang nilai-nilai itu dimiliki oleh bangsa Indonesia.Dengan demikian Pancasila sebagai sistem filsafat memiliki ciri khas yang berbeda dengan sistem-sistem filsafat lainnya, seperti materialisme, idealisme, rasionalisme, liberalisme, komunisme dan sebagainya. Ciri Sistem Filsafat Pancasila Sila-sila yang terdapat pada panca sila itu mengandung arti yang sangat mendalam, sampai bisa dikatakan sebagai suatu sistem filsafat. Sistem filsafat tersebut tentunya memiliki ciri tersendiri sehingga dapat dikatakan sebagai suatu sistem filsafat. Cirri-ciri tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Sila-sila Pancasila merupakan satu-kesatuan sistem yang bulat dan utuh. Dengan kata lain, apabila tidak bulat dan utuh atau satu sila dengan sila lainnya terpisah-pisah maka itu bukan Pancasila. 2. Susunan Pancasila dengan suatu sistem yang bulat dan utuh itu dapat digambarkan sebagai berikut: a. Sila 1, meliputi, mendasari dan menjiwai sila 2,3,4 dan 5; b. Sila 2, diliputi, didasari, dijiwai sila 1, dan mendasari dan menjiwai sila 3, 4 dan 5; c. Sila 3, diliputi, didasari, dijiwai sila 1, 2, dan mendasari dan menjiwai sila 4, 5; d. Sila 4, diliputi, didasari, dijiwai sila 1,2,3, dan mendasari dan menjiwai sila 5; e. Sila 5, diliputi, didasari, dijiwai sila 1,2,3,4. Inti sila-sila Pancasila Dapat digambarkan satu persatu inti dari sila-sila pancasila, bahwa sebenarnya pancasila itu memiliki makna yang terkandung di dalamnya atas setiap dasar kata yang terdapat pada sila-sila pancasila tersebut, di antaranya sebagai berikut: 1. Tuhan, yaitu sebagai kausa prima. Di mana bahwa Tuhan merupakan yang utama dari segalanya. Indonesia merupakan negara penganut beberapa agama dan kepercayaan yang didasarkan pada ketuhanan. Oleh karena itu pancasila disesuaikan dengan keadaan rakyat Indonesia yang menganut sistem ketuhanan yang Maha Esa. 2. Manusia, yaitu makhluk individu dan makhluk sosial. Suatu negara tentunya dihuni oleh beberapa manausia yang merupakan unsur utama sebagai faktor adanya suatu negara, harapan para pendiri Negara ini dengan adanya Pancasila bahwa sistem kemanusiannya adil dan beradab. 3. Satu, yaitu kesatuan memiliki kepribadian sendiri. Indonesia merdeka atas dasar persatuan dan kesatuan rakyat Indonesia dalam memerangi penjajahan, dan inilah yang menjadi cirri kepribadian bangsa Indonesia. 4. Rakyat, yaitu unsur mutlak negara. Dalam suatu pengambilan keputusan haruslah berjalan dengan asas permusyawaratan perwakilan terpimpin, dan ini lah yang diharapkan menjadi cikal-bakal gotong royong. 5. Adil, yaitu memberi keadilan kepada seluruh rakyat yang menjadi haknya dan tentunya keadilan akan menjadi dasar kesejahteraan rakyat Indonesia.. Landasan Pancasila Membahas Pancasila sebagai filsafat berarti mengungkapkan konsep-konsep kebenaran Pancasila yang bukan saja ditujukan pada bangsa Indonesia, melainkan juga bagi manusia pada umumnya. Wawasan filsafat meliputi bidang atau aspek penyelidikan ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ketiga bidang tersebut dapat dianggap mencakup kesemestaan. Oleh karena itu, berikut ini akan dibahas landasan Ontologis Pancasila, Epistemologis Pancasila dan Aksiologis Pancasila. 1. Landasan Ontologis Pancasila Ontologi, menurut Aristoteles adalah ilmu yang meyelidiki hakikat sesuatu atau tentang ada, keberadaan atau eksistensi dan disamakan artinya dengan metafisika. Masalah ontologis antara lain: Apakah hakikat sesuatu itu? Apakah realitas yang ada tampak ini suatu realitas sebagai wujudnya, yaitu benda? Apakah ada suatu rahasia di balik realitas itu, sebagaimana yang tampak pada makhluk hidup? Dan seterusnya. Bidang ontologi menyelidiki tentang makna yang ada (eksistensi dan keberadaan) manusia, benda, alam semesta (kosmologi), metafisika. Secara ontologis, penyelidikan Pancasila sebagai filsafat dimaksudkan sebagai upaya untuk mengetahui hakikat dasar dari sila-sila Pancasila. Pancasila yang terdiri atas lima sila, setiap sila bukanlah merupakan asas yang berdiri sendiri-sendiri, malainkan memiliki satu kesatuan dasar ontologis. Dasar ontologis Pancasila pada hakikatnya adalah manusia, yang memiliki hakikat mutlak yaitu monopluralis, atau monodualis, karena itu juga disebut sebagai dasar antropologis. Subyek pendukung pokok dari sila-sila Pancasila adalah manusia. Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa yang Berketuhan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta yang berkeadilan sosial pada hakikatnya adalah manusia. Sedangkan manusia sebagai pendukung pokok sila-sila Pancasila secara ontologis memiliki hal-hal yang mutlak, yaitu terdiri atas susunan kodrat, raga dan jiwa, jasmani dan rohani. Sifat kodrat manusia adalah sebagai makhluk individu dan makhluk sosial serta sebagai makhluk pribadi dan makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Maka secara hirarkis sila pertama mendasari dan menjiwai sila-sila Pancasila lainnya. (lihat Notonagoro, 1975: 53). Hubungan kesesuaian antara negara dan landasan sila-sila Pancasila adalah berupa hubungan sebab-akibat: a. Negara sebagai pendukung hubungan, sedangkan Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil sebagai pokok pangkal hubungan. b. Landasan sila-sila Pancasila yaitu Tuhan, manusia, satu, rakyat dan adil adalah sebagai sebab, dan negara adalah sebagai akibat. 2. Landasan Epistemologis Pancasila Epistemologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki asal, syarat, susunan, metode, dan validitas ilmu pengetahuan. Epistemologi meneliti sumber pengetahuan, proses dan syarat terjadinya pengetahuan, batas dan validitas ilmu pengetahuan. Epistemologi adalah ilmu tentang ilmu atau teori terjadinya ilmu atau science of science. Menurut Titus (1984:20) terdapat tiga persoalan yang mendasar dalam epistemologi, yaitu: a. Tentang sumber pengetahuan manusia; b. Tentang teori kebenaran pengetahuan manusia; c. Tentang watak pengetahuan manusia. Secara epistemologis kajian Pancasila sebagai filsafat dimaksudkan sebagai upaya untuk mencari hakikat Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan. Pancasila sebagai sistem filsafat pada hakikatnya juga merupakan sistem pengetahuan. Ini berarti Pancasila telah menjadi suatu belief system, sistem cita-cita, menjadi suatu ideologi. Oleh karena itu Pancasila harus memiliki unsur rasionalitas terutama dalam kedudukannya sebagai sistem pengetahuan. Dasar epistemologis Pancasila pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dengan dasar ontologisnya. Maka, dasar epistemologis Pancasila sangat berkaitan erat dengan konsep dasarnya tentang hakikat manusia. Pancasila sebagai suatu obyek pengetahuan pada hakikatnya meliputi masalah sumber pengetahuan dan susunan pengetahuan Pancasila. Tentang sumber pengetahuan Pancasila, sebagaimana telah dipahami bersama adalah nilai-nilai yang ada pada bangsa Indonesia sendiri. Nilai-nilai tersebut merupakan kausa materialis Pancasila. Tentang susunan Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan, maka Pancasila memiliki susunan yang bersifat formal logis, baik dalam arti susunan sila-sila Pancasila maupun isi arti dari sila-sila Pancasila itu. Susunan kesatuan sila-sila Pancasila adalah bersifat hirarkis dan berbentuk piramidal. Sifat hirarkis dan bentuk piramidal itu nampak dalam susunan Pancasila, di mana sila pertama Pancasila mendasari dan menjiwai keempat sila lainny, sila kedua didasari sila pertama dan mendasari serta menjiwai sila ketiga, keempat dan kelima, sila ketiga didasari dan dijiwai sila pertama dan kedua, serta mendasari dan menjiwai sila keempat dan kelima, sila keempat didasari dan dijiwai sila pertama, kedua dan ketiga, serta mendasari dan menjiwai sila kelma, sila kelima didasari dan dijiwai sila pertama, kedua, ketiga dan keempat. Dengan demikian susunan Pancasila memiliki sistem logis baik yang menyangkut kualitas maupun kuantitasnya. Susunan isi arti Pancasila meliputi tiga hal, yaitu: a. Isi arti Pancasila yang umum universal, yaitu hakikat sila-sila Pancasila yang merupakan inti sari Pancasila sehingga merupakan pangkal tolak dalam pelaksanaan dalam bidang kenegaraan dan tertib hukum Indonesia serta dalam realisasi praksis dalam berbagai bidang kehidupan konkrit. b. Isi arti Pancasila yang umum kolektif, yaitu isi arti Pancasila sebagai pedoman kolektif negara dan bangsa Indonesia terutama dalam tertib hukum Indonesia. c. Isi arti Pancasila yang bersifat khusus dan konkrit, yaitu isi arti Pancasila dalam realisasi praksis dalam berbagai bidang kehidupan sehingga memiliki sifat khhusus konkrit serta dinamis (lihat Notonagoro, 1975: 36-40). Menurut Pancasila, hakikat manusia adalah monopluralis, yaitu hakikat manusia yang memiliki unsur pokok susunan kodrat yang terdiri atas raga dan jiwa. Hakikat raga manusia memiliki unsur fisis anorganis, vegetatif, dan animal. Hakikat jiwa memiliki unsur akal, rasa, kehendak yang merupakan potensi sebagai sumber daya cipta manusia yang melahirkan pengetahuan yang benar, berdasarkan pemikiran memoris, reseptif, kritis dan kreatif. Selain itu, potensi atau daya tersebut mampu meresapkan pengetahuan dan menstranformasikan pengetahuan dalam demontrasi, imajinasi, asosiasi, analogi, refleksi, intuisi, inspirasi dan ilham. Dasar-dasar rasional logis Pancasila menyangkut kualitas maupun kuantitasnya, juga menyangkut isi arti Pancasila tersebut. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa memberi landasan kebenaran pengetahuan manusia yang bersumber pada intuisi. Manusia pada hakikatnya kedudukan dan kodratnya adalah sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, maka sesuai dengan sila pertama Pancasila, epistemologi Pancasila juga mengakui kebenaran wahyu yang bersifat mutlak. Hal ini sebagai tingkat kebenaran yang tinggi. Dengan demikian kebenaran dan pengetahuan manusia merupapakan suatu sintesa yang harmonis antara potensi-potensi kejiwaan manusia yaitu akal, rasa dan kehendak manusia untuk mendapatkankebenaran yang tinggi. Selanjutnya dalam sila ketiga, keempat, dan kelima, maka epistemologi Pancasila mengakui kebenaran konsensus terutama dalam kaitannya dengan hakikat sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Sebagai suatu paham epistemologi, maka Pancasila mendasarkan pada pandangannya bahwa ilmu pengetahuan pada hakikatnya tidak bebas nilai karena harus diletakkan pada kerangka moralitas kodrat manusia serta moralitas religius dalamupaya untuk mendapatkan suatu tingkatan pengetahuan yang mutlak dalam hidup manusia. 3. Landasan Aksiologis Pancasila Sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki satu kesatuan dasar aksiologis, yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila pada hakikatnya juga merupakan suatu kesatuan. Aksiologi Pancasila mengandung arti bahwa kita membahas tentang filsafat nilai Pancasila. Istilah aksiologi berasal dari kata Yunani axios yang artinya nilai, manfaat, dan logos yang artinya pikiran, ilmu atau teori. Aksiologi adalah teori nilai, yaitu sesuatu yang diinginkan, disukai atau yang baik. Bidang yang diselidiki adalah hakikat nilai, kriteria nilai, dan kedudukan metafisika suatu nilai. Nilai (value dalam Inggris) berasal dari kata Latin valere yang artinya kuat, baik, berharga. Dalam kajian filsafat merujuk pada sesuatu yang sifatnya abstrak yang dapat diartikan sebagai “keberhargaan” (worth) atau “kebaikan” (goodness). Nilai itu sesuatu yang berguna. Nilai juga mengandung harapan akan sesuatu yang diinginkan. Nilai adalah suatu kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia (dictionary of sosiology an related science). Nilai itu suatu sifat atau kualitas yang melekat pada suatu obyek. Ada berbagai macam teori tentang nilai, antara lain: a. Max Scheler mengemukakan bahwa nilai ada tingkatannya, dan dapat dikelompokkan menjadi empat tingkatan, yaitu: 1) Nilai-nilai kenikmatan: dalam tingkat ini terdapat nilai yang mengenakkan dan nilai yang tidak mengenakkan, yang menyebabkan orang senang atau menderita. 2) Nilai-nilai kehidupan: dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai yang penting dalam kehidupan, seperti kesejahteraan, keadilan, kesegaran. 3) Nilai-nilai kejiwaan: dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai kejiwaan (geistige werte) yang sama sekali tidak tergantung dari keadaan jasmani maupun lingkungan. Nilai-nilai semacam ini misalnya, keindahan, kebenaran, dan pengetahuan murni yang dicapai dalam filsafat. 4) Nilai-nilai kerokhanian: dalam tingkat ini terdapat moralitas nilai yang suci dan tidak suci. Nilai semacam ini terutama terdiri dari nilai-nilai pribadi. (Driyarkara, 1978) b. Walter G. Everet menggolongkan nilai-nilai manusia ke dalam delapan kelompok: 1) Nilai-nilai ekonomis: ditunjukkan oleh harga pasar dan meliputi semua benda yang dapat dibeli. 2) Nilai-nilai kejasmanian: membantu pada kesehatan, efisiensi dan keindahan dari kehidupan badan. 3) Nilai-nilai hiburan: nilai-nilai permainan dan waktu senggang yang dapat menyumbangkan pada pengayaan kehidupan. 4) Nilai-nilai sosial: berasal mula dari pelbagai bentuk perserikatan manusia. 5) Nilai-nilai watak: keseluruhan dari keutuhan kepribadian dan sosial yang diinginkan. 6) Nilai-nilai estetis: nilai-nilai keindahan dalam alam dan karya seni. 7) Nilai-nilai intelektual: nilai-nilai pengetahuan dan pengajaran kebenaran. 8) Nilai-nilai keagamaan c. Notonagoro membagi nilai menjadi tiga macam,, yaitu: 1) Nilai material, yaitu sesuatu yang berguna bagi manusia. 2) Nilai vital, yaitu sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat melaksanakana kegiatan atau aktivitas. 3) Nilai kerokhanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani yang dapat dibedakan menjadi empat macam: a) Nilai kebenaran, yang bersumber pada akal (ratio, budi, cipta) manusia. b) Nilai keindahan, atau nilai estetis, yang bersumber pada unsur perasaan (aesthetis, rasa) manusia. c) Nilai kebaikan, atau nilai moral, yang bersumber pada unsur kehendak (will, karsa) manusia. d) Nilai religius, yang merupakan nilai kerokhanian tertinggi dan mutlak. Nilai religius ini bersumber kepada kepercayaan atau keyakinan manusia. Dalam filsafat Pancasila, disebutkan ada tiga tingkatan nilai, yaitu nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praktis. a. Nilai dasar, adalah asas-asas yang kita terima sebagai dalil yang bersifat mutlak, sebagai sesuatu yang benar atau tidak perlu dipertanyakan lagi. Nilai-nilai dasar dari Pancasila adalah nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan. b. Nilai instrumental, adalah nilai yang berbentuk norma sosial dan norma hukum yang selanjutnya akan terkristalisasi dalam peraturan dan mekanisme lembaga-lembaga negara. c. Nilai praksis, adalah nilai yang sesungguhnya kita laksanakan dalam kenyataan. Nilai ini merupakan batu ujian apakah nilai dasar dan nilai instrumental itu benar-benar hidup dalam masyarakat. Nila-nilai dalam Pancasila termasuk nilai etik atau nilai moral merupakan nilai dasar yang mendasari nilai intrumental dan selanjutnya mendasari semua aktivitas kehidupan masyarakat, berbansa, dan bernegara. Secara aksiologis, bangsa Indonesia merupakan pendukung nilai-nilai Pancasila (subscriber of value Pancasila), yaitu bangsa yang berketuhanan, yang berkemanusiaan, yang berpersatuan, yang berkerakyatan dan berkeadilan sosial. Pengakuan, penerimaan dan pernghargaan atas nilai-nilai Pancasila itu nampak dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan bangsa Indonesia sehingga mencerminkan sifat khas sebagai Manusia Indonesia.

Senin, 06 Oktober 2014

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Filipina

PERBANDINGAN HUKUM PERDATA KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA FILIPINA OLEH: SYADDAN DINTARA LUBIS NIM: 137005012 BOOK II PROPERTY, OWNERSHIP, AND ITS MODIFIKATIONS BUKU KE II KEPEMILIKAN TANAH, HAK MILIK, DAN MODIFIKASINYA Title I CLASSIFICATION OF PROPERTY JUDUL I BAGIAN-BAGIAN DARI KEPEMILIKAN TANAH PRELIMINARY PROVISIONS KETENTUAN-KETENTUAN DASAR Art. 414 All things which are or may be the object of oppropriation are considered either: (1) Immovable or real property; or (2) Movable or personal property. (333) Pasal 414 Semua benda-benda yang atau mungkin menjadi objek pertimbangan: (1) Benda tidak bergerak (2) Benda bergerak CHAPTER 1 IMMOVABLE PROPERTY BAGIAN 1 BENDA TIDAK BERGERAK Art. 415 The folloeing are immovable property: (1) Land, building, roads and constructions of all kinds adhered to the soil; (2) Tress, plants and growing fruits, while they are attached to the land or form an integral part of and immovable; (3) Everything attached to an immovable in a fixed manner, in such a way that it cannot be separated therefrom without; (4) Statues, reliefs, paintings or other objects for use or ornamentation, placed in building or on lands by the owner of the immovable in such a manner that it reveals the intention to attach them permanently to the tenements; (5) Machinery, receptacles, instruments or implements intended by the owner of the tenement for an industry or works which may be carried on in a building or on a piece of land, and which tend directly to meet the needs of the said industry or work; (6) Animal houses, pigeon-house, beehives, fish ponds or breeding places of similar nature, in case their owner has placed them or preservesthem with the intention to have them permanently attached to the land, and forming a permaanent part of it; the animals in these places are included; (7) Fertilizer actually used on a piece of land; (8) Mines, quarries, and slag dumps, while the matter thereof forms part of the bed, and waters either running or stagnant; (9) Docks and structures which, though floating, are intended by their nature and object to remain at a fixed place on a river, lake, or coast; (10) Contracts for public works, and servitudes and other real rights over immovable property. (334a). Pasal 415 Yang tergolong dalam benda tidak bergerak: (1) Tanah, bangunan, jalan dan segala bentuk bangunan yang tertancap di atas tanah; (2) Pohon, tanaman dan buah-buahan yang sedang tumbuh, yang melekat di atas tanah atau lainnya adalah merupakan bagian utuh dari benda tidak bergerak; (3) Semua hal yang berkenaan dengan benda tidak bergerak, dalam hal ini tidak bisa dipisahkan darinya tanpa memisahkan materi-materi objek; (4) Patung, relief, lukisan atau benda-benda lainnya yang dipakai atau barang-barang perhiasan yang terletak di dalam gedung atau di atas tanah pemiliknya tergolong dalam benda tidak bergerak dalam hal mengungkapkan tujuan melekat secara permanen terhadap tanah sewa; (5) Mesin, wadah, alat-alat atau peralatan yang dimaksudkan si pemilik rumah industri yang mungkin terletak di dalam bangunan atau sebidang tanah yang mungkin terhubung langsung atau merupakan kebutuhan dari sebuah rumah industri; (6) Petrnakan hewan, peternakan burung merpati, sarang lebah, kolam-kolam ikan atau tempt-tempat peternakan dari kiasan alam dalam hal pemiliknya sudah menempatkannya atau memelihara mereka dengan tujuan untuk memiliki mereka semua secara tetap dan melekat ke tanah, para hewan di dalam tempat ini juga termasuk; (7) Pembuatan pupuk yang menggunakan sebidang tanah; (8) Pertambangan, tambang dan tempat pembuangan ampas biji logam ketika mereka semua terbentuk, dan juga air yang menggenag di atasnya; (9) Galangan kapal atau yang terapung atau objek yang terapung di wilayah kesepakatan di dalam sungai, danau, atau pesisir pantai; (10) Kontrak untuk pekerja umum dan pelayanan sosial dan hak-hak nyata mengenai benda tidak bergerak. CHAPTER 2 MOVABLE PROPERTY BAGIAN 2 BENDA BERGERAK Art. 416 The following things are deemed to be personal property: (1) Those movables susceptible of appropriation which are not included in the preceding article; (2) Real property which by any special provision of law is considered as personal property; (3) Forces of nature which are brought under control by science; and (4) In general, all things which can be transported from place to place without impairment of the real property yo which they are fixed. (335a) Pasal 416 Hal-hal yang termasuk ke dalam barang milik pribadi: (1) Benda-benda bergerak yang rentan yang tidak termasuk di artikel sebelumnya; (2) Barang-barang hak milik dari ketentuan-ketentuan khusus dengan yang memiliki izin khusus izin hukum dianggap sebagai barang pribadi; (3) Tenaga alam yang di bawah kontrol ilmu pengetahuan; (4) Secara umum, semua benda yang dapat diangkut dari 1 tempat ke tempat lain tanpa gangguan dari tenaga alam yang sudah disepakati. Art. 417 The following are also considered as personal property: (1) Obligations and actions which have for their object movables or demandable sums; and (2) Shares of stock of agricultural, commercial and industrial entities, although they may have real estate. (336a) Pasal 417 Hal-hal yang juga tergolong kepada barang milik pribadi: (1) Kewajiban-kewajiban dan tindakan-tindakan yang dimiliki barang-barang bergerak dan dapat dihitung; dan (2) Pembagian saham pertanian, iklan dan perindustrian yang nyata walaupun boleh memiliki hak milik tetap. Art. 418 Movable property is either consumable or nonconsumable. To the first class belong those movable which cannot be used in a manner appropriate to their nature without their being consumed; to the second class belong all the others. (337) Pasal 418 Benda bergerak yang bisa atau tidak bisa dikonsumsi, dipakai, digunakan kelas pertama yang tergolong pada benda bergerak yang tidak dapat digunakan pada cara yang sesuai dengan keadaaan alam mereka tanpa pernah dikonsumsi kelas kedua, tergolong pada benda lainnya. CHAPTER 3 PROPERTY IN RELATION TO THE PERSON TO WHOM IT BELONG BAGIAN 3 HAK MILIK DALAM HUBUNGANNYA ANTARA SANG PEMILIK KEPADA BARANG MILIKNYA Art. 419 Property is either of public dominion or of private ownership. (338) Pasal 419 Hak milik berbeda dengan kepemilikan umum atau kepemilikan pribadi. Art. 420 The following things are property of public dominion: (1) Those intende for public use, such as roads, canals, rivers, torrents, ports and bridges constructed by the State, banks, shores, roadsteads, and others of similar character; (2) Those which belong to the State, without being for public use, and are intended for some public service or for the development of the national wealth. (339a) Pasal 420 Hal-hal yang termasuk kepada benda hak milik umum: (1) Yang termasuk dalam kepentingan umum seperti jalan, kanal, sungai, aliran air, pelabuhan dan jembatan yang dibangun oleh negara bagian, bank, jalan darat dan karakter sejenis lainnya. (2) Yang termasuk dalam negara dan tidak masuk dalam kepentingan umum dan digolongkan pada jasa layanan negara atau untuk perkembangan kekayaan nasional.. Art. 421 All the other property of the State, which is not of the character stated in the preceding article, is patrimonial property. (340a) Pasal 421 Semua benda bergerak milik Negara yang tidak dituliskan pada pasal sebelumnya adalah barang warisan. Art. 422 Property of public dominion, when no longer intended for public use or public service, shall form part of the patrimonial property of the State. (341a) Pasal 422 Benda bergerak milik umum yang belum lama dimaksudkan bagi kepentingan umum atau jasa layanan umum menjadi benda warisan negara. Art. 423 The property of provinces, cities, and municipalities is divided into property for public use and patrimonial property. (343) Pasal 423 Benda hak milik suatu propinsi, kota, dan kotapraja dibagi dalam hak kepentingan umum dan warisan negara. Art. 424 Property for public use, in the provinces, cities, and municipalties, consist of the provincial roads, city states, municipal streets, the squares, fountais, public waters, promenades, and public works for public service paid for by said provinces, cities, or municipalities. All other property possessed by any of them is patrimonial and shall be governed by this Code, without prejudice to the provisions of special laws. (344a) Pasal 424 Benda yang digunakan untuk kepentingan public, di provinsi, kota, dan kotapraja terdiri dari jalan-jalan di provinsi, kota, kotapraja, lapangan, sumber air negara, tempat-tempat hiburan dan pekerja umum untuk layanan umum dibayar oleh pemerintah daerah, kota dan kotapraja. Semua properti lainnya yang dimiliki oleh salah satu dari mereka adalah patrimonial dan akan diatur oleh Kode ini, tanpa mengurangi ketentuan hukum khusus. Art. 425 Property of private ownership, besides the patrimonial property of the State, provinces, cities, and municipalities, consists of all property belonging to private persons, either individually or collectivelly. (345a) Pasal 425 Benda bergerak milik perseorangan di samping warisan, kekayaan negara, propinsi, kota, dan kotapraja terdiri dari semua hak milik perseorangan dan yang lainnya adalah milik individu dan kelompok. PROVISIONS COMMON TO THE THREE PRECEDING CHAPTER KETENTUAN UMUM UNTUK KETIGA JUDUL BESAR SEBELUMNYA Art. 426 Whenever by provision of the law, or an individual declaration, the expression “immovable things or property” or “movable things or property” is used, it shall be deemed to include, respectively, the things enumerated in Chapter 1 and Chapter 2. Whenever the word “meubles” or “furniture” is used alone, it shall not be deemed to include money, credits, commercial securities, stock and bonds, jewelry, scientific or artistic collections, books, medals, arms, clothing, horse or carriages and their accessories, grains, liquids and merchandise, or other things which do not have as their principal object the furnishing or ornamenting of a building, except where from the context of the law, or the individual declaration contrary clearly appears. (346a) Pasal 426 Kapanpun dengan ketetapan hukum atau pernyataan individu “hak milik benda bergerak atau hak milik benda tidak bergerak” digunakan dan tetap harus dipertimbangkan khususnya masing-masing benda yang terhitung pada Bagian 1 dan Bagian 2. Kapanpun kata “meubels” atau “furniture” dipakai sendirian, itu tidak dapat dianggap termasuk uang, kredit, iklan keamanan, kontrak dan saham, perhiasan, koleksi artistik atau ilmu pengetahuan, buku, medali, pakaian, kuda dan muatannya, gandum, air, barang dagangan, atau benda-benda lainnya yang bukan merupakan objek tetap hiasan atau ornamen suatu bangunan, kecuali dari segi hukum stsu pernyataan seseorang, perbedaannya tampak sangat jelas. Title II OWNERSHIP Judul II KEPEMILIKAN CHAPTER 1 OWNERSHIP IN GENERAL BAGIAN 1 KEPEMILIKAN SECARA UMUM Art. 427 Ownership may be exercised over things or rights. (n) Pasal 427 Kepemilikan mungkin digunakan pada benda atau hak milik. Art. 428 The owner has the right to enjoy and dispose of a thing, without other limitations than those estabilished by law. The owner has also a right of action againts the holder and possesser of the thing in order to recover it. (348a) Pasal 428 Pemilik memiliki hak untuk menikmati dan mengatur barang miliknya tanpa batasan apapun kecuali yang ditegakkan oleh hukum. Pemilik juga memiliki hak untuk melakukan perlawanan untuk melindungi hak miliknya. Art. 429 The owner or lawful possessor of a thing has the right to exclude any person from the enjoyment and disposal thereof. For this purpose, he many use such force as may be reasonable necessary to repel or prevent an actual or threatened unlawful physical invasion or usurpation of this property. Pasal 429 Pemilik atau pemegang hak yang sah suatu barang atau benda mempunyai hak untuk mengeluarkan siapa pun yang merusak kenyamanan, untuk hal ini dia boleh menggunakan usaha apapun jika itu diperlukan untuk menolak atau mencegah terjadinya ancaman fisik yang dapat merusak atau membahayakan barang-barang miliknya. Art. 430 Every owner may enclose or fence his land or tenements by means of walls, ditches, live or dead hedges, or by any other means without detriment to servitudes constituted thereon. (338) Pasal 430 Setiap pemilik boleh melampirkan atau memagari lahannya atau rumah petak, parit, tanaman merambat yang hidup ataupun mati atau dari apapun tanpa merugikan atau mempekerjakan siapapun. Art. 431 The owner of a thing cannot make use thereof in such manner as to injure the rights of a third person. (n) Pasal 431 Pemilik tidak dapat menggunakan hal tersebut dengan cara apapun untuk merugikan hak orang ketiga. Art. 432 The owner of a thing has no right to prohibit the interference of another with the same, if the interference is necessary to avert an imminent danger and the threatened damage, compared to the damage arising to the owner from the interference, is much greater. The owner may demand from the person benefited indemnity for the damage to him. (n) Pasal 432 Pemilik tidak berhak untuk melarang turut campur dengan hak yang sama, jika turut campur diperlukan untuk mencegah bahaya dan gangguan kehancuran yang timbul pada si pemilik dari campur tangan yang lebih besar. Pemilik boleh meminta keuntungan dari seseorang untuk mengganti kerugiannya. Art. 433 Actual possession under claim of ownership raises disputable presumption of ownership. The true owner must resort to judicial process for the recovery of the property. (n) Pasal 433 Hak milik suatu barang di bawah klaim atas milik seseorang dapat diperbantahkan. Pemilik sebenarnya harus berusaha untuk memproses secara hukum bagi perbaikan barang miliknya tersebut. Art. 434 In an action to recover, the property must be identified, and the plaintiff must rely on the strength of his title and not on the weakness of the defendant’s claim. (n) Pasal 434 Dalam tindakan untuk memperbaiki barang tersebut harus diidentifikasi dan penggugat harus mengandalkan kekuatan dari surat bukti hak miliknya dan bukan pada kelemahan dari klaim pembela. Art. 435 No person shall be deprived of his property except by competent authority and for public use and always upon payment of just compensation. Should this requirement be not first complied with, the courts shell protect and, in a proper case, restore the owner in his possession. (349a) Pasal 435 Tak satu orang pun harus mencabut hak miliknya kecuali oleh wewenang yang ahli dan untuk kepentingan umum dan selalu harus membayar dana kompensasi. Persyaratan ini harus komplit maka pengadilan akan melindungi dalam kasus yang sebenarnya, hak milik akan kembali pada pemiliknya. Art. 436 When any property is comdemned or seized by competent authority in the interest of health, safety or security, the owner thereof shall not be entitled to compensation, unless he can show that such comdemnation or seizure unjustified. (n) Pasal 436 Ketika suatu barang disita oleh kekuasaan yang berwenang dalam kepentingan kesehatan, keamanan dan keselamatan, pemilik tidak dapat menolaknya, tapi setidaknya dia bisa menunjukkan bukti penyitaan. Art.437 The owner of a parcel of land is the owner of its surface and of everything under it, and he can construct thereon any works or make any palntations and excavations which he may deem proper, without detriment to servitudes and subject to special laws and ordinances. He cannot complain of the reasonable requirement of aerial navigation. (350a) Pasal 437 Pemilik suatu lahan adalah pemilik dari lahan permukaan beserta seluruh yang ada di dalamnya dan dia bisa membangun apa pun atau membuka lahan pertanian, tanpa surat izin apapun dan peraturan apapun. Dia tidak dapat protes dari persyaratan-persyaratan itu (tentang tanah). Art. 438 Hidden treasure belongs to the owner of the land, building and other property on which it is found. Nevertheless, when the discovery is made on the property of another, or of the State or any of its subdivisions, and by chance, one half thereof shall be allowed to the finder. If the finder is a trespasser, he shall not be entitled to any share of the treasure. If the things found be of interest to science of the arts, the State may aqcuire them at their just price, which shall be devided in conformity with the rule stated. (351a) Pasal 438 Harta tersembunyi menjadi hak si pemilik, bangunan atau benda lainnya yang dapat ditemukan. Meskipun ketika penemuan dibuat pada barang-barang tersebut, atau negara pusat, atau negara-negara bagian, maka sebagian dari itu harus diberi pada si penemu. Jika si penemu masuk tanpa izin, dia tidak boleh meminta bagian sedikitpun. Jika penemuannya berupa benda-benda bersejarah, negara pusat boleh mengambil barang itu sesukanya tetapi berdasarkan aturan-aturan yang berlaku. Art. 439 By treasure is understood, for legal purposes, any hidden an unknown deposit of money, jewelry, or other precious objects, the lawful ownership of which does not appear. (352) Pasal 439 Harta benda yang ada pemiliknya untuk tujuan yang sah, apapun yang disembunyikan, deposit uang, perhiasan, atau benda berharga lainnya, pemilik memegang hak sepenuhnya.